Metode Pembelajaran PAUD Dalam
Perspektif Islam
1. Metode
dengan Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan Islam,
merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti berhasil dalam mempersiapkan dan
membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak sejak usia dini. Hal ini
karena pendidik adalah figure terbaik dalam pandangan anak didik yang tindak
tanduknya dan sopan santunnya, disadari atau tidak akan menjadi perhatian anak-anak
sekaligus ditirunya.
Keteladanan menjadi faktor penting
dalam menentukan baik buruknya pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini.
Jika pendidik dan orang tua jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani,
dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama,
maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani
dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama.
Anak usia dini, bagaimanapun
besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimanapun sucinya
fitrah, tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok
pendidikan utama, selama ia (anak usia dini) tidak melihat pendidik dan orang
tua sebagai teladan dari nilai-nilai moral yang tinggi.
Kiranya sangat mudah bagi pendidik
untuk mengajari anak dengan berbagai materi pendidikan, tetapi teramat sulit
bagi anak untuk melaksanakannya jika ia melihat orang yang memberikan pengajaran
tidak mengamalkan-nya.
Allah swt, juga telah mengajarkan
bahwa rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia,
adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral maupun
intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya, belajar darinya, memenuhi
panggilannya, menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan, keutamaan dan akhlak
yang terpuji.
Allah mengutus Muhammad Saw. Sebagai
teladan yang baik bagi umat Islam sepanjang jaman, dan bagi umat manusia di
setiap saat dan tempat, sebagai pelita yang menerangi dan purnama yang memberi
petunjuk. Allah berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 21:
Artinya: "Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah." Ayat tersebut ditafsirkan oleh Baidhawi, bahwa uswatun
hasanah yang dimaksud adalah perbuatan baik yang dapat dicontoh[30].
Dalam ringkasan tafsir Ibnu Kasir
disebutkan bahwa ayat ini merupakan prinsip utama dalam meneladani Rasulullah
SAW, baik dalam ucapan, perbuatan maupun sikap dan perilakunya.
Islam telah menyajikan pribadi Rasul
sebagai suri teladan yang terus-menerus bagi seluruh pendidik, suri teladan
yang selalu baru bagi generasi demi generasi, dan selalu aktual dalam kehidupan
manusia, setiap kali kita membaca riwayat kehidupannya bertambah pula kecintaan
kita kepadanya dan tergugah pula keinginan untuk meneladaninya.
Islam tidak menyajikan keteladanan
ini sekedar untuk dikagumi atau sekedar untuk direnungkan dalam lautan hayal
yang serba abstrak. Islam menyajikan riwayat keteladanan itu semata-mata untuk
diterapkan dalam diri setiap individu muslim baik itu anak-anak maupun orang
dewasa.
Dalam memberikan pendidikan kepada
anak usia dini, pendidikan dengan memberi teladan secara baik dari para
pendidik dan orang tua, teman bermain, pengajar, atau kakak, akan merupakan
faktor yang sangat memberikan bekas dalam membina pertumbuhan anak, memberi
petunjuk, dan persiapannya untuk menjadi melanjutkan kehidupannya di fase-fase
perkembangan selanjutnya.
Dengan demikian perlu dipahami oleh
para pendidik dan orang tua bahwa mendidik dengan cara memberi teladan yang
baik, terutama pada masa anak usia dini sesungguhnya penopang utama dan dasar
dalam meningkatkan anak usia dini pada keutamaan, kemuliaan dan etika sosial
yang terpuji.[32]
Manusia telah diberi fitrah untuk
mencari suri teladan agar menjadi pedoman bagi mereka, yang menerangi jalan
kebenaran dan menjadi contoh hidup yang menjelaskan kepada mereka bagaimana
seharusnya melaksanakan syrai'at Allah.
Karenanya, untuk merealisasikan
risalahNya di muka bumi, Allah mengutus para rasulNya yang menjelaskan kepada
manusia syari'at yang diturunkan Allah kepada mereka. Anak usia dini merupakan
tingkat usia yang dalam pertumbuhannya memiliki keterkaitan besar terhadap
keteladanan dari pihak luar dirinya.
Di dalam kehidupan berkeluarga
misalnya, anak usia dini membutuhkan suri teladan, khususnya dari kedua orang
tuanya, agar sejak dini (masa kanak-kanak) ia menyerap dasar tabiat perilaku
Islami dan berpijak pada landasannya yang luhur.
Keteladanan yang baik memberikan
pengaruh besar terhadap jiwa anak, sebab anak banyak meniru kedua orang tuanya.
Anak-anak akan selalu memperhatikan dan mengawasi perilaku orang tuanya atau
orang dewasa lainnya, dan mereka akan mencontohnya, jika anak mendapati orang
tuanya berlaku jujur, mereka akan tumbuh dengan kejujuran.
Kedua orang tua dituntut
mengimplementasikan perintah-perintah Allah dan sunnah Rasul sebagai perilaku
dan amalan serta terus menambah amalan-amalan sunnah tersebut semampunya,
karena anak-anak akan terus mengawasi dan meniru mereka setiap waktu.
Kemampuan anak dalam menerima
teladan dari orang dewasa secara sadar atau tidak sadar sangatlah tinggi,
meskipun anak-anak sering dianggap sebagai makhluk kecil yang belum mengerti
dan paham ajaran Islam, tetapi dengan melihat teladan yang diberi orang dewasa
hal itu akan memberi bekasan pada diri anak.[33]
Di sekolah, anak-anak juga
membutuhkan suri teladan yang dilihatnya langsung dari setiap guru yang
mendidiknya, sehingga dia merasa pasti dengan apa yang dipelajarinya. Pada
perilaku dan tindakan guru-gurunya, hendaknya anak dapat melihat langsung bahwa
tingkah laku utama yang diharapkan mereka melakukannya adalah hal yang tidak
mustahil dan memang dalam batas kewajaran untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.[34]
2.
Pendidikan dengan Latihan dan Pengamalan
Islam merupakan agama yang menuntut
para pemeluknya mampu merealisasikan berbagai ajaran Islam dalam bentuk amal
nyata yaitu berupa amal şaleh yang diridhai Allah SWT. Islam menuntut
umatnya agar mengarahkan segala tingkah laku, naluri, aktivitas dan hidupnya
untuk merealisasikan adab-adab dan perundang-undangan yang berasal dari Allah
secara nyata.
Dalam hal pendidikan melalui latihan
pengamalan, Rasulullah SAW, sebagai pendidik Islam yang pertama dan utama
sesungguhnya telah menerapkan metode ini dan ternyata memberikan hasil yang
menggembirakan bagi perkembangan Islam di kalangan sahabat. Dalam banyak hal,
Rasul senantiasa mengajarkannya dengan disertai latihan pengamalannya, di
antaranya; tatacara bersuci, berwudhu, melaksanakan şalat, berhaji dan
berpuasa.
Atas dasar ini, maka dalam
pelaksanaan pendidikan Islam baik kepada orang dewasa, apalagi terhadap
anak-anak usia dini pendidikan melalui latihan dan pengamalan merupakan satu
metode yang dianggap penting untuk diterapkan. Metode belajar learning by doing
atau dengan jalan mengaplikasikan teori dan praktik, akan lebih memberi kesan
dalam jiwa, mengokohkan ilmu di dalam kalbu dan menguatkan dalam ingatan.
Di antara yang dapat dilatihkan sebagai
amalan bagi anak-anak usia dini antaranya ialah; cara menggosok gigi, latihan
mencuci tangan yang benar, cara beristinja, latihan berwudhu', mengucapkan
salam ketika masuk rumah, serta beberapa do'a yang harus diamalkan sebagai
mengawali berbagai aktivitas sehari-hari, seperti do'a hendak dan sesudah
makan, do'a hendak dan bangun tidur, do'a masuk kamar mandi, dan do'a lain yang
mudah diamalkan oleh anak-anak usia dini.
Orang tua wajib membiasakan atau
melatih anak-anak mereka pergi ke masjid, juga melaksanakan şalat di rumah
maupun di sekolah. Hal ini dapat dibaca pada hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ أَبِي قَالَ وَجَعَلْتُ يَدَيَّ بَيْنَ رُكْبَتَيَّ فَقَالَ لِي أَبِي اضْرِبْ بِكَفَّيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ قَالَ ثُمَّ فَعَلْتُ ذَلِكَ مَرَّةً أُخْرَى فَضَرَبَ يَدَيَّ وَقَالَ إِنَّا نُهِينَا عَنْ هَذَا وَأُمِرْنَا أَنْ نَضْرِبَ بِالْأَكُفِّ عَلَى الرُّكَبِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ أَبِي قَالَ وَجَعَلْتُ يَدَيَّ بَيْنَ رُكْبَتَيَّ فَقَالَ لِي أَبِي اضْرِبْ بِكَفَّيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ قَالَ ثُمَّ فَعَلْتُ ذَلِكَ مَرَّةً أُخْرَى فَضَرَبَ يَدَيَّ وَقَالَ إِنَّا نُهِينَا عَنْ هَذَا وَأُمِرْنَا أَنْ نَضْرِبَ بِالْأَكُفِّ عَلَى الرُّكَبِ
Artinya: Hadis Saad bin Abi Waqqas
r.a: Diriwayatkan daripada Mus'ab bin Saad r.a katanya: Aku pernah sembahyang
di sisi ayahku. Aku rapatkan tangan antara kedua lututku. Lalu ayahku berkata
kepadaku: Letakkan kedua telapak tanganmu pada lututmu. Kemudian aku melakukan
hal itu sekali lagi. Lalu ayah memukul tanganku sambil mengatakan: Sesungguhnya
kita dilarang dari melakukan ini yaitu meletakkan tangan di antara dua lutut
dan kita diperintahkan supaya meletakkan tangan di atas lutut. (HR. Muslim)
Nilai pendidikan yang terdapat dalam
hadis di atas adalah tentang praktik melatih anak dalam melaksanakan şalat.
Praktik pendidikan şalat seperti inilah yang seyogiyanya diterapkan oleh para
orang tua dalam memberi pendidikan sholat kepada anak-anaknya, sehingga anak
tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis tentang şalat, tetapi juga memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang sifatnya praktis tentang şalat, dan dengan
demikian maka anak akan mampu melaksanakan şalat dengan benar sesuai dengan
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hadis lain ditemukan juga
bagaimana Rasulullah memberi pendidikan şalat kepada anak-anak, seperti sabda
beliau yang diriwayatkan dari Anas:
حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ مُسْلِمُ بْنُ حَاتِمٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِيَّاكَ وَالِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ الِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ هَلَكَةٌ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَفِي التَّطَوُّعِ لَا فِي الْفَرِيضَةِ
حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ مُسْلِمُ بْنُ حَاتِمٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِيَّاكَ وَالِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ الِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ هَلَكَةٌ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَفِي التَّطَوُّعِ لَا فِي الْفَرِيضَةِ
Artinya: Berkata Anas bin Malik
telah berkata Rasulullah SAW; “Hai anakku, janganlah engkau menoleh ke sana ke
mari dalam şalat, karena akan merusak şalat, jika engkau terpaksa melakukan hal
itu, maka boleh dilakukan hanya dalam şalat sunnah, dan bukan dalam şalat
fardhu”.(HR. at-Tirmiżi)
Hadis ini dikeluarkan oleh
Rasulullah dalam rangka memberi peringatan kepada anak-anak agar tidak menoleh
ke kanan dan ke kiri ketika sedang melaksanakan şalat, dan ini sesungguhnya
merupakan bukti perhatian Rasul dalam mengajarkan kepada anak-anak tentang
tatacara şalat.[37]
Para sahabat juga menempuh cara yang
sama dalam memberi pendidikan şalat kepada anak-anaknya dengan cara memberi
contoh kepada anak-anaknya tentang berbagai tata cara şalat sesuai dengan yang
diajarkan Rasul Saw. Cara ini juga pantas jika dipraktikkan oleh para orang tua
Muslim dalam memberi pendidikan şalat kepada anak-anaknya, terutama tentang
ketertiban dalam şalat (larangan menoleh ke kanan atau ke kiri pada waktu
şalat).
Orang tua juga berkewajiban melatih
mereka melaksanakan puasa dan infaq, bersedekah serta berbuat baik kepada
tetangga dan orang-orang fakir, juga menolong orang-orang yang lemah. Disamping
itu juga harus dilatih menghormati orang yang lebih tua dan telah berumur,
dilatih/dibiasakan melakukan berbagai kegiatan dengan niat kerena keridhaan
Allah semata, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. Mengorbankan
harta serta diri mereka di jalan Allah, melaksana-kan kewajiban agama,
menegakkan moral Islam, khususnya mengenakan jilbab bagi anak perempuan.
3.
Mendidik melalui permainan, nyanyian, dan cerita
Sesuai dengan pertumbuhannya, anak usia dini memang lagi gemar-gemarnya
melakukan berbagai permainan yang menarik bagi dirinya. Berkaitan dengan ini,
maka pendidikan melalui permainan merupakan satu metode yang menarik diterapkan
dalam pendidikan anak usia dini.
Tentu saja permainan yang positif dan dapat mengembangkan intelektual dan
kreativitas anak-anak. Bagi anak-anak usia balita, bermain dengan ibu tentu
lebih banyak dampak positifnya karena lebih memperlancar komunikasi antara
keduanya, adalah teman terbaik bagi mereka.[39]
Hal ini dapat dibaca pada hadis Rasul yang menjelaskan tentang cara memberi
pendidikan puasa kepada anak-anak berikut ini:
و حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ بْنِ لَاحِقٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
و حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ بْنِ لَاحِقٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Diriwayatkan daripada Ar-Rubaiyyi' binti Muawwiz bin Afra' r.a katanya:
Pada hari Asyura, Rasulullah s.a.w telah mengirimkan surat ke
perkampungan-perkampungan Ansar di sekitar Madinah yang berbunyi: Siapa yang
berpuasa pada pagi ini hendaklah menyempurnakan puasanya dan siapa yang telah
berbuka yaitu makan pada pagi ini hendaklah dia juga menyempurnakannya yaitu berpuasa
pada pagi harinya. Selepas itu kami pun berpuasa serta menyuruh anak-anak kami
yang masih kanak-kanak supaya ikut berpuasa, jika diizinkan Allah. Ketika kami
berangkat menuju ke masjid, kami buatkan suatu permainan untuk anak-anak kami
yang diperbuat dari bulu biri-biri. Jika ada di antara mereka yang menangis
meminta makanan, kami akan berikan mainan tersebut sehingga tiba waktu berbuka.
(HR.Muslim)[40]
Dengan membaca hadis di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan puasa kepada
anak dapat dilakukan dengan cara melatih mereka berpuasa dan jika mereka
menangis meminta makanan dapat dialihkan keinginan mereka dengan cara memberi
mainan kepada mereka, sehingga anak-anak lupa akan rasa laparnya dan asik
dengan permainannya, selain itu anak juga merasa terhibur oleh permainan dan
tidak merasakan panjangnya hari yang mereka lalui dengan puasa.
Ibnu Hajar seperti dikutip Suwaid, menjelaskan bahwa hadis ini menjadi
dalil mengenai disyariatkannya melatih anak-anak untuk berpuasa, sebab usia
yang disebutkan dalam hadis tersebut belum sampai pada masa mukallaf, akan
tetapi hal itu dilakukan sebagai bentuk latihan.
Namun perlu diingat pula bahwa yang paling perlu orang tua usahakan pertama
kali sebelum mengenalkan dan melatih bepuasa adalah mengkondisikan anak dengan
lingkungan yang Islami. Kenalkan suasana puasa di lingkungan keluarga, karena
suasana itu bagi anak merupakan bekal dalam mempersiapkan dirinya, sehingga
anak terbiasa dengan suasana berpuasa.
Anak tidak melihat ibu, bapak, dan anggota keluarganya makan di siang hari,
tetapi makan ketika terbenam matahari. Perlu juga diingat adalah jangan
sekali-sekali memaksa mereka melakukan puasa secara terus menerus sejak dari
terbit fajar hingga terbenam matahari, namun latih mereka untuk melakukan puasa
secara bertahap, mulai dari hitungan jam sampai akhirnya mereka dapat terus
berpuasa dari terbit fajar hingga berbuka pada magribnya. Setelah anak mampu
berpuasa selama satu hari penuh, kenalkan mereka dengan hal-hal yang
membatalkan puasa.
Muhammad Suwaid menjelaskan bahwa hadis yang menceritakan bahwa Nabi
merestui A’isyah yang sedang bermain dengan boneka, menunjukkan kepada kita
bahwa anak kecil memang butuh mainan. Demikian juga hadis tentang burung nughar
kecilnya Abu Umair yang dibuat mainan olehnya dan hal itu juga disaksikan oleh
Nabi menjadi bukti lain akan adanya kebutuhan mainan bagi anak agar ia bisa
riang gembira.
Dalam hal ini kedua orang tuanyalah yang mesti memberikan mainan untuk
anaknya yang sesuai dengan usia dan kemampuannya, dan kemudian menyerahkannya
secara lansgung, hal itu dimaksudkan agar akal dan panca inderanya beraktivitas
dan bisa tumbuh sedikit demi sedikit.
Agar mainan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka
benar-benar bisa bermanfaat, maka kedua orang tua perlu mempertimbangkan;
apakah mainan itu termasuk mainan yang akan membangkitkan aktivitas jasmani dan
kesehatan yang berguna bagi anak.
Apakah mainan tersebut membeikan kesempatan bagi anak untuk menyusunnya,
dan apakah mainan tesebut bisa mendorong anak untuk meniru perilaku orang-orang
dewasa dan cara berpikir mereka. Jika jawaban atas semua pertanyaan tersebut
adalah “ya”, maka mainan tersebut berarti sesuai untuknya dan memberikan
manfaat edukatif.
Selain memberi permainan kepada anak, bermain dengan anak dan bertingkah
seperti mereka dalam bergaul dengan mereka akan menumbuhkan semangat di dalam
jiwanya dan juga akan membantunya menampilkan serta mengembangkan potensi-potensi
yang dimilikinya.
Dalam al-Ishabah dikatakan bahwa Rasulullah saw pernah bermain-main dengan
Hasan dan Husin ra. Rasulullah saw. Merangkak di atas kedua tangan dan
lututnya, dan kedua cucunya tersebut bergelantungan dari kedua sisinya, dan
merangkak bersama keduanya.
Bernyanyi juga satu cara yang baik diterapkan dalam pembelajaran pada anak
usia dini. Bernyanyi di sini bukan hanya mengajari anak menyanyikan berbagai
lagu, tetapi dapat dilakukan untuk mengajarkan anak membaca huruf hijaiyah
dengan cara membacanya secara berirama sehingga anak merasa senang dan rilek dalam
mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya.
Selain itu, belajar sambil bernyanyi juga akan memberi keceriaan dan
kebahagiaan kepada anak dalam belajar. Keceriaan dan kebahagiaan memainkan
peran penting dalam jiwa anak secara menakjubkan, serta memberikan pengaruh
kuat.
Anak-anak usia dini tentu saja ingin selalu riang gembira, selanjutnya
keceriaan dan kegembiraan anak itu akan melahirkan rasa optimisme dan percaya
diri serta akan selalu siap untuk menerima perintah, peringatan atau petunjuk
dari orang tua atau orang dewasa lainnya.
Adalah Rasulullah senantiasa menanamkan jiwa periang dan kegembiraan di
dalam jiwa anak dan hal itu beliau lakukan dengan bebagai macam cara. Di
antaranya adalah dengan menyambut mereka dengan sambutan yang hangat ketika
bertemu dengan mereka, mengajak mereka bercanda, menggendong mereka dan
meletakkan mereka di pangkuan beliau, mendahulukan mereka dengan memberi
makanan yang baik, dan dengan cara makan bersama-sama dengan mereka.
Juga tidak kalah pentingnya adalah pembelajaran dengan cara memberikan atau
menyajikan kisah-kisah Islami yang bersumber dari Al Qur-an dan Hadis Rasul.
Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat
diganti dengan bentuk penyampaian lain.
Hal ini karena kisah Qur-an dan nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang
membuatnya mempunyai dampak psikologis dan edukatif yang sempurna, rapi,
dan jangkauan yang luas.
Di samping itu kisah eduktif dapat melahirkan kehangatan perasaan dan
vitalitas serta aktvitas di dalam jiwa, yang selanjutnya memotivasi anak didik
untuk mengubah perilakunya dan memperbarui tekadnya sesuai dengan tuntunan,
pengarahan dan ide-ide yang terkandung dalam kisah tersebut.
Kisah Qur-ani bukanlah karya seni yang tanpa tujuan, melainkan merupakan
satu di antara sekian banyak metode Qur-ani untuk menuntun dan mewujudkan
tujuan keagamaan dan ketuhanan serta satu cara untuk menyampaikan ajaran Islam
terutama bagi anak-anak usia dini.
Tentu saja kemasan kisah qur-an yang dapat diterapkan dalam memberikan
pendidikan kepada anak usia dini, merupakan kisah yang dikemas secara indah dan
menarik bagi anak-anak usia dini. Misal kisah-kisah yang dapat diberikan kepada
anak usia dini antara lain adalah kisah para Nabi dan Rasul-Rasul Allah, kisah
anak durhaka, kisah-kisah anak soleh dan kisah-kisah orang pemberani dalam
kebenaran, serta kisah-kisah lain mengandung nilai pendidikan dan mendukung
bagi pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak usia dini.
Artinya "Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu,
ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini
telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang
yang beriman". (Huud: 120)
Dijelaskan oleh Ibnu Kasir bahwa dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa
semua kisah para rasul terdahulu bersama umatnya masing-masing sebelum
Muhammad, Kami ceritakan kepadamu perihal mereka. Semua itu diceritakan untuk
meneguhkan hatimu, hai Muhammad, dan agar engkau mempunyai suri teladan dari
kalangan saudara-saudaramu para rasul yang terdahulu.
Artinya "Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir".(Al A'raaf: 176) Ayat 176 ini diturunkan menceritakan kisah
Bal’aam, untuk mengingatkan manusia bahwa meskipun seorang itu sudah mencapai
ilmu yang sangat tinggi sebagaimana yang dicapai oleh para Nabi tetapi lalu ia
maksiat dan condong kepada dunia, maka akhirnya bernasib sebagaimana Bal’aam
yang disebut oleh Allah: Famasaluhu kamasalail kalbi in tahmil alaihi yalhas au
tatrukhu yalhas.
Orang itu contohnya bagaikan anjing yang selalu menjilat-jilat dan tidak
berguna baginya segala peringatan, ancaman dan nasihat, tidak berguna baginya
iman dan pengetahuannya. Karena itulah ayat ditutup dengan kalimat “Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir"
Ikutilah kisah ini supaya mereka berpikir dan memperhatikan, dan dapat mawas
diri dan berhati-hati jangan sampai terjadi seperti itu
Kisah bisa memainkan peran penting dalam menarik perhatian, kesadaran
pikiran dan akal anak. Nabi biasa membawakan kisah di hadapan sahabat, yang
muda maupun yang tua, mereka mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap apa
yang dikisahkan beliau, berupa berbagai peristiwa yang pernah terjadi di masa
lalu, agar bisa diambil pelajarannya oleh orang-orang sekarang dan yang akan
datang hingga hari kiamat.
Yang penting dicatat adalah bahwa kisah-kisah yang disampaikan oleh Nabi
bersandar pada fakta riil yang pernah terjadi di masa lalu, jauh dari khurafat
dan mitos. Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan keyakinan sejarah pada diri
anak, di samping juga menambahkan spirit pada anak untuk bangkit serta
membangkitkan rasa keislaman yang bergelora dan mendalam.
Kisah-kisah para ulama, ‘amilin dan orang-orang mulia yang shalih merupakan
sebaik-baik sarana yang akan menanamkan berbagai keutamaan dalam jiwa anak
serta mendorongnya untuk siap mengemban berbagai kesulitan dalam rangka meraih
tujuan yang mulia dan luhur. Di samping itu juga akan membangkitkan untuk
mengambil teladan orang-orang yang penuh pengorbanan sehingga ia akan terus
naik menuju derajat yang tinggi dan terhormat.
4. Mendidik
dengan Targhib dan Tarhib
Targhib adalah janji yang disertai
dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu maslahat, kenikmatan, atau
kesenangan akhirat. Sedangkan tarhib adalah ancaman dengan siksaan sebagai
akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah, atau akibat
lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah.
Ini merupakan metode pendidikan Islam
yang didasarkan atas fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, seperti
keinginan terhadap kekuatan, kenikmatan, kesenangan, dan kehidupan abadi yang
baik serta ketakutan akan kepedihan, kesengsaraan dan kesudahan yang buruk.
Ditinjau dari segi paedagogis, hal
ini mengandung anjuran, hendaknya pendidik dan atau orang tua menanamkan
keimanan dan aqidah yang benar di dalam jiwa anak-anak, agar pendidik dapat
menjanjikan (targhib) surga kepada mereka dan mengancam (tarhib) mereka dengan
azab Allah, sehingga hal ini diharapkan akan mengundang anak didik untuk
merealisasikan dalam bentuk amal dan perbuatan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam.
Dalam memberikan pendidikan melalui
targhib dan tarhib, pendidik hendaknya lebih mengutamakan pemberian gambaran
yang indah tentang kenikmatan di surga dan berbagai kenikmatan lain yang
diperoleh sebagai balasan bagi amal sholeh yang dikerjakan, sekaligus juga
diberikan sedikit gambaran tentang dahsyatnya azab Allah yang diberikan sebagai
ganjaran pelanggaran yang dilakukan.
Pendidikan dengan menerapkan metode
ini merupakan upaya untuk menggugah, mendidik dan mengembangkan perasaan
Rabbaniyah pada anak sejak usia dini, perasaan-perasaan yang diharapkan dapat
dikembangkan melalui metode ini antara lain; khauf kepada Allah, perasaan
khusyu', perasaan cinta kepada Allah, dan perasaan raja' (berharap) kepada Allah.
Targhib dan tarhib merupakan bagian
dari metode kejiwaan yang sangat menentukan dalam meluruskan anak, ia merupakan
cara yang jelas dan gamblang dalam pendidikan ala Rasul, beliau sering
menggunakannya dalam menyelesaikan masalah anak di segala kesempatan, terutama
dalam masalah berbakti kepada orang tua. Beliau mendorong anak agar berbakti
kepada kedua orang tuanya serta menakut-nakutinya dari berbuat durhaka kepada
keduanya. Hal itu tidak lain bertujuan agar anak itu menyambut hal ini dan
mendapatkan pengaruh sehingga ia bisa memperbaiki diri dan perilakunya.
5. Pujian
dan Sanjungan
Tidak diragukan lagi, pujian
terhadap anak mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap dirinya, sehingga
hal itu akan menggerakkan perasaan dan inderanya. Dengan demikian, seorang anak
akan bergegas meluruskan perilaku dan perbuatannya. Jiwanya akan menjadi riang
dan juga senang dengan pujian ini untuk kemudian semakin aktif.
Rasulullah sebagai manusia yang
mengerti tentang kejiwaan manusia telah mengingatkan akan pujian yang
memberikan dampak positif terhadap jiwa anak, jiwanya akan tergerak untuk
menyambut dan melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
Anak kecil yang masih berada dalam
umur tiga tahun pertama bukannya tidak mempunyai perasaan kehormatan serta
harga diri, ia menyadari bahwasanya dirinya adalah anak kecil, akan tetapi
dalam lubuk hatinya ia tidak menerima jika dianggap remeh dalam bentuk dan sikap
yang bagaimanapun.
Selama ia masih tumbuh berkembang
maka perasaan dihargai dan dihormati ikut tumbuh kembang dalam dirinya.
Perasaan harga diri dan dihormati merupakan pembawaan manusia secara fitrah,
baik sebagai anak kecil maupun sebagai manusia dewasa, sebab sesungguhnya
manusia merupakan makhluk yang dihormati lagi dimuliakan. Mengenai bentuk dan
ragam pemberian pujian atau penghargaan cukup banyak, yang terpenting adalah
anak sejak dini dipandang sebagai manusia sekaligus diperlakukan secara manusiawi.
Secara lebih lanjut, pujian dan
sanjungan dapat diberikan dalam bentuk hadiah. Namun orang tua hendaklah
berhati-hati dalam memilih hadiah, agar tidak menimbulkan ketagihan. Hindarilah
memberi hadiah uang, karena selain benda ini sangat menggiurkan, orang tua pun
harus bekerja dua kali untuk membimbing anak agar mampu membelanjakan uangnya
dengan baik.
Pilihlah hadiah yang bersifat
edukatif, sehingga tak jadi persoalan jika anak-anak kemudian ketagihan. Buku
cerita, alat-alat sekolah serta perlengkapan kegemaran anak akan cukup
menyenangkan mereka. Pilih barang yang saat itu sedang mereka butuhkan,
sehingga orang tua tidak perlu membelikannya lagi, misalnya jika sepatunya
sudah mulai nampak berlubang, mengapa tidak menjadikannya saja sebagai hadiah,
sebab kalaupun tidak sebagai hadia toh akhirnya orang tua harus membelikannya
juga. Orang tua harus sejak awal dan terus-menerus menanamkan pengertian bahwa
hadiah yang diberikan kepada anak bukan semata untuk menghargai prestasi akhir
mereka, namun lebih dititikberatkan pada usaha anak untuk mengubah dirinya.
6.
Menanamkan Kebiasaan yang Baik
Dalam usaha memberikan pendidikan dan membantu perkembangan anak usia dini,
selain pengembangan kecerdasan dan keterampilan, perlu juga sejak dini
ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang positif. Pendidikan dengan mengajarkan dan
pembiasaan adalah pilar terkuat untuk pendidikan anak usia dini, dan metode
paling efektif dalam membentuk iman anak dan meluruskan akhlaknya, sebab metode
ini berlandasakan pada pengikutsertaan.
Tidak diragukan lagi, mendidik dengan cara pembiasaan anak sejak dini
adalah paling menjamin untuk mendatangkan hasil positif, sedangkan mendidik dan
melatih setelah dewasa sangat sukar untuk mencapai kesempurnaan
Ada beberapa hal yang dapat dianggap positif untuk dibiasakan terhadap anak
usia dini, di antaranya adalah: Anak harus dibiasakan menjaga kebersihan, sebab
Islam sangat mementingkan kebersihan, sebagaimana dapat dibaca pada firman
Allah berikut ini:
Artinya: “Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (Taubah: 108)
Ayat di atas menjelaskan tentang kecintaan Allah terhadap orang yang bersih, yaitu orang menyucikan dirinya dari segala macam najis dan kotoran sekaligus membersihan jiwanya dari segala macam dosa.[58] ِAyat ini sejalan dengan sabda Rasul:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي حَسَّانَ قَال سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ…[59]
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai kebaikan, bersih dan menyukai kebersihan”… (R. at-Tirmiżi)
Artinya: “Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (Taubah: 108)
Ayat di atas menjelaskan tentang kecintaan Allah terhadap orang yang bersih, yaitu orang menyucikan dirinya dari segala macam najis dan kotoran sekaligus membersihan jiwanya dari segala macam dosa.[58] ِAyat ini sejalan dengan sabda Rasul:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي حَسَّانَ قَال سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ…[59]
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai kebaikan, bersih dan menyukai kebersihan”… (R. at-Tirmiżi)
Dalam rangka membiasakan hidup bersih dan hidup sehat, pada anak usia dini,
hendaklah anak dibiasakan untuk; berdo’a sebelum tidur dan ketika bangun, mandi
secara teratur, menggosok gigi setiap bangun dan menjelang tidur, mencuci
tangan sebelum dan sesudah makan, serta membuang sampah pada tempatnya.
Anak dilatih dan dibiasakan hidup teratur, misalnya dengan membiasakan anak
makan secara teratur dan tidak berlebihan, sebagaimana difirmankan Allah:
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(Al A’raaf ayat 31)
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(Al A’raaf ayat 31)
Makna yang terdapat pada ayat ini adalah makanlah sesukamu dan
berpakaianlah sesukamu selagi engkau hindari dua pekerti, yaitu
berlebih-lebihan dan sombong. Allah menghalalkan makan dan minum selagi
dilakukan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak untuk kesombongan
Dalam hadis Rasul kita temukan tentang aturan makan dan minum, yaitu
seperti yang tersebut dalam hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ جَدِّهِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ جَدِّهِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
Artinya: Dari Jaddah ibn Umar Rasulullah berkata: “Jika makan salah seorang
diantara kamu, maka makanlah dengan tangan kanan, dan jika minum, maka minumlah
dengan tangan kanan, karena sesungguhnya syaitan makan dan minum dengan tangan
kiri”
Anak sejak dini hendaknya dibiasakan hidup sederhana dan hemat. Untuk itu
sebaiknya anak tidak dibiasakan jajan, sebab jajan di samping merupakan
kebiasaan yang tidak baik, juga makananan yang ia beli belum terjamin
kebersihannya hingga bisa membahayakan kesehatannya.
Itulah beberapa metode pendidikan yang menurut hemat penulis layak untuk
diterapkan pada pelaksanaan pendidikan anak usia dini. Dengan metode-metode
tersebut secara teoritis akan memberikan hasil positif terhadap pembinaan dan
pendidikan anak usia dini, baik itu yang dilaksanakan orang tua di rumah,
maupun oleh para guru di sekolah/lembaga pendidikan anak usia dini.
Sumber :
http://paudjateng.xahzgs.com/2015/05/metode-pembelajaran-paud-perspektif-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar